Fosil yang memperlihatkan gigi-geligi rahang atas dari Stegodon yang ditemukan di Desa Grogolan Wetan, Kabupaten Sragen. Kawasan tersebut merupakan bagian dari Situs Warisan Dunia UNESCO, |
“Kami menemukan Steggy,” kata Ruly Fauzi menyebut temuan fosil kepala gajah purba atau Stegodon trigonochepalus
pada kedalaman hampir lima meter di Situs Warisan Dunia, Sangiran, Jawa
Tengah. Steggy diduga pernah hidup di kawasan ini sekitar 700 ribu
hingga 800 ribu tahun silam. Pada akhir Agustus hingga awal September 2013, Pusat Arkeologi
Nasional menyelisik singkapan tebing di Desa Grogolan Wetan, Kabupaten
Sragen, Jawa Tengah. Mereka umumnya para arkeolog muda yang bergelora
menyingkap teka-teki kehidupan prasejarah di kawasan yang dikenal
sebagai “pusat evolusi manusia dunia”.
Tahun ini mereka berhasil menemukan fosil kepala Steggy si gajah purba, beberapa artefak berburu tinggalan Homo erectus. Di bagian lain, mereka menemukan fosil kerbau purba atau Bubalus palaeokerabau dengan rentang ujung-ujung tanduknya sekitar satu meter lebih.
Dinding kotak gali itu memunculkan lapisan-lapisan endapan nan
indah—ibarat potongan kue tar cokelat nan lezat—yang berkisah tentang
proses pembentukan cekungan purba Sangiran. Ruly yang sore itu bertopi
rimba dan berkaus lengan panjang warna abu-abu, merupakan salah satu
ahli arkeologi dalam tim tersebut. Di dasar kotak galinya, dia
menunjukkan sebongkah fosil kepala Steggy dengan posisi terbalik
sehingga tersingkap gigi-geligi rahang atasnya.Selain fosil Stegodon, para arkeolog Pusat Arkeologi Nasional juga menemukan artefak bola-bola batu. |
Di sekitar Steggy terdapat fosil-fosil lain yang tampaknya masih ada
kaitanya dengan gajah purba itu. “Ini diduga bagian tulang kaki depan
Steggy,” seru Ruly. “Kalau ini fraktur femur,” ujarnya sambil menunjuk sebongkah fosil yang sudah melapuk, “bagian tulang bonggol paha.” Menurut Ruly, lapisan arkeologi tempat bersemayamnya Steggy belum
sempurna pengendapannya. “Ini tampaknya langsung terkubur deras oleh
pasir sehingga endapannya belum keras,” paparnya. “Makanya, kami
menggali secara hati-hati dengan kuas di bagian ini, siapa tahu
mendapatkan cetakan kaki.”
Kemudian dia memperlihatkan artefak bola-bola batu yang terserak di
dekat fosil kepala Steggy. Bisa jadi bola-bola batu itu milik Homo
erectus yang digunakannya untuk keperluan berburu. “Pangkasan-pangkasan
ini menunjukkan salah satu proses sebelum batu ini menjadi bola batu,”
ujar Ruly sambil menunjuk bola batu dalam genggamannya. “Seperti ini jelas dipangkas,” ujarnya sambil menunjukkan bekas-bekas
pangkasan. “Tetapi teknologi pangkasan tadi masih sangat sederhana
untuk mendapatkan serpih dengan cepat.”
Leluhur gajah modern ini pernah hidup di Asia sekitar lima juta
sampai sepuluh ribu tahun silam. Temuan tim arkeologi menunjukkan bahwa
gigi-geligi Steggy bermahkota rendah karena dipengaruhi oleh habitat dan
jenis makanannya. Bentuk gigi tersebut sesuai untuk mengunyah daun-daun
lembut, bukan untuk melumat rerumputan kering atau biji-bijian.
Fosil kepala kerbau purba muncul dari singkapan tebing di atas temuan Stegodon. |
Sekitar dua juta tahun silam Sangiran merupakan laut dalam. Kawasan
ini mulai menjadi daratan 900 ribu tahun yang lalu. Stegodon bermigrasi
dari daratan Asia ke kawasan Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, hingga
Nusa Tenggara Timur tatkala daerah-daerah itu masih dihubungkan oleh
daratan. Truman Simanjuntak, seorang professor riset bidang arkeologi
prasejarah dan ketua penelitian tersebut, mempunyai pemikiran untuk
mengembangkan lokasi temuan.
Dia berpandangan jauh kedepan. Menurutnya situs ini tak hanya untuk
kepentingan penelitian, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat. “Kalau
boleh saya sarankan, lokasi ini jangan ditutup kembali,” ujarnya. “Ini
satu-satunya contoh yang baru kita punya di Indonesia yang siap
ditunjukkan ke publik.” Truman mempunyai ide untuk mengembangkan lokasi ini sebagai museum
yang mengabadikan lapisan-lapisan proses pembentukan Sangiran dan
konteks temuan di dalam kotak penggalian. Masyarakat juga dapat
mengetahui cara bekerja ahli arkeologi. “Belum pernah orang melihat
seperti ini,” ujar Truman. “Temuan di tebing-tebing yang terlihat
natural.”
Kawasan ini merupakan harta yang tak ternilai lantaran lapisan di
bawahnya sangat potensial mengandung fosil-fosil penting, bahkan fosil
manusia. Oleh karena itu Truman berharap perlu segera mengupayakan
lapisan-lapisan tebing itu tetap lestari dan tidak longsor karena erosi
air hujan. Selain itu juga mencetak temuan untuk pembuatan replika dan
mengamankan temuan aslinya ke Museum Sangiran.
Geolog Awang Harun Satyana (kanan) dan arkeolog senior Truman Simanjuntak (bertopi hitam) tengah melakukan eksplorasi situs-situs yang berpotensi untuk penelitian arkeologi dan geologi |
Harapannya, ilmu arkeologi dapat lebih berperan kepada masyarakat
dengan memberikan gambaran dan pemahaman tentang asal-usul lingkungan
Sangiran. Kelak, masyarakat sekitar dapat turut menyaksikan Steggy dan
lingkungannya 800 ribu tahun silam dengan cara pandang seorang ahli
arkeologi. “Itu akan sangat menarik,” ungkap Truman. “Itu mungkin
terlalu ideal, namun bagi saya tidak ada ideal yang terlalu.” Lalu,
bagimanakah sejatinya nasib Steggy? Apakah Steggy malang itu tewas
karena diburu Homo erectus dengan senjata bola-bola batunya? Untuk saat
ini para ahli arkeologi tersebut tak ingin berspekulasi. Pastinya, hal
ini telah menjadi pertanyaan besar dalam penelitian ini.
Sumber: nationalgeographic.co.id