Oka Sudarsana menunjukkan gambar background film animasi Doraemon |
TIMELINE Studio milik Oka Sudarsana di
Denpasar Barat, Bali, memang tidak begitu besar. Di studio yang berada
di lantai 1 tempat tinggalnya itu, terlihat beberapa set peralatan
komputer. Itulah peralatan yang selama ini dipakai untuk membuat animasi
serial kartun, movie film, maupun games Doraemon, Shin-chan, One Piece,
dan sederet serial film animasi lainnya.
Oka merintis profesi tersebut cukup
lama. Bahkan sejak saat orang Indonesia belum melirik dunia animasi.
“Cerita awalnya cukup panjang. Sebab, semua tak bisa dipisahkan dari
kedatangan beberapa grup animator dari Jepang ke Bali beberapa tahun
silam,” kata Oka ketika ditemui Jawa Pos Radar Bali di studionya awal
pekan lalu.
Pada 1990-an Oka masih berstatus
sebagai karyawan sebuah hotel. Suatu hari dia tertarik mengikuti
pelatihan animasi yang instrukturnya langsung dari Jepang. Mereka
dipimpin seorang animator perempuan bernama Shibata. Grup animator itu
sebenarnya sudah beberapa kali datang ke Bali untuk observasi. Mereka
mencari bibit-bibit animator asli Bali setelah mengetahui bahwa di Pulau
Dewata banyak pelukis hebat.
”Mereka yakin orang Bali bisa membuat
animasi yang diinginkan. Makanya, mereka lalu membuat pelatihan dengan
instruktur langsung dari Jepang,” terang pria 45 tahun itu. Di antara peserta pelatihan, Oka
termasuk yang terbaik. Karyanya mendekati yang diinginkan pihak Jepang.
Maka, semakin intensiflah Oka mengasah skill-nya. Bahkan, sejak itu Oka
memilih keluar dari pekerjaannya di hotel dan merintis karir menjadi
seorang animator, bidang yang masih langka di Indonesia saat itu.
Setelah yakin dengan pilihan hidupnya,
Oka mulai membuat studio kecil-kecilan. Dia mengontrak dari satu rumah
ke rumah kontrakan yang lain. Tapi, sejak itu dia mulai mendapatkan
order pembuatan animasi untuk background film kartun. Awalnya bukan
Doraemon atau Shin-chan, dua serial kartun asal Jepang yang booming di
Indonesia. Melainkan serial animasi berjudul Jungle Book pada 1996. Film
yang diproduksi Trans Art Jepang itu merupakan serial animasi yang
mengisahkan petualangan anak hutan. “Seperti serial Tarzan. Cuma, ini
diproduksi di Jepang,” ulasnya sambil tertawa mengingat-ingat cerita
Jungle Book tersebut.
Order pertama itu diterima Oka lewat
perantara perusahaan milik Shibata, bernama Mashajaya. Perusahaan
tersebut sekaligus menjadi agennya kala itu. “Saat proyek yang pertama
itu, saya masih didampingi instruktur dari Jepang. Tapi, kala itu belum
seperti sekarang. Masih manual semua,” kenang bapak dua anak tersebut. Cara manual yang dimaksud berupa
lukisan tangan sehingga membutuhkan waktu lama. Berbeda dengan era
sekarang yang semua dibuat secara digital. “Respons mereka (pihak
Jepang) terhadap karya kami sangat baik kala itu. Baru keluar, mereka
langsung oke. Hampir tak ada ritik (perbaikan) yang diminta sutradara,”
terang pemilik nama lengkap Agung Komang Oka Sudarsana tersebut.
Setelah order pertama sukses, pesanan
pun mengalir ke Timeline Studio. Mereka antara lain mendapatkan order
pembuatan background untuk serial animasi yang diproduksi Walt Disney
hingga animasi-animasi asal Spanyol. Namun, kerja sama itu tidak
berlangsung lama karena nilai kontraknya dinilai agen Timeline di Jepang
sangat kecil.
”Padahal, bagi kami nilai kontrak itu
sudah cukup besar. Tapi, mungkin karena kami sudah dianggap profesional
oleh mentor Jepang, harga tersebut dianggap tak sebanding dengan karya
kami,” ungkapnya. Maka, order yang lebih besar pun
tinggal menunggu waktu. Benar, tak berselang lama, Oka pun mendapatkan
order untuk terlibat dalam dua serial animasi top asal Jepang: Doraemon
dan Crayon Shin-chan. Di Indonesia, dua film animasi tersebut sangat
digemari anak-anak sejak puluhan tahun silam sampai sekarang.
Menurut Oka, dua film itu merupakan
hasil kerja sebuah tim di bawah komando seorang sutradara dan produser.
Mereka inilah yang membagi-bagi pekerjaan animasi di sejumlah studio
dari beberapa negara berbeda. Selain studio Oka di Denpasar, dua film
itu juga digarap studio animasi di Korea Selatan, Tiongkok, dan Vietnam.
Jadi, ada studio yang khusus menggarap background (Timeline), ada
studio yang menggarap musiknya, dan beberapa lainnya mengerjakan gerak
tokoh-tokoh di serial tersebut. Kemudian, hasil kerja studio-studio dari
beberapa negara itu diolah di studio pusat di Jepang hingga menjadi
satu kesatuan film animasi yang utuh.
”Mungkin hasil kerja kami dinilai baik
sehingga sejak 2000-an hingga sekarang kami tetap dipercaya untuk
menggarap background gambar dua film kartun itu,” imbuhnya. Background yang digambar Timeline
Studio antara lain kamar tidur Doraemon, sekolah Nobita Nobi, hingga
taman tempat bermain Doraemon dkk. Bagi Oka cs, membuat gambar
background film Doraemon dan Shin-chan memang lebih mudah dan simpel
daripada harus membuat karakter Doraemon, Nobita Nobi, Shizuka Minamoto,
hingga Suneo Honekawa. Sebab, pembuatan karakter-karakter di serial
animasi membutuhkan SDM (sumber daya manusia) yang tidak sedikit.
”Mungkin karena sudah terbiasa sehingga
rasanya lebih mudah membuat background daripada karakter tokoh-tokoh
film animasi itu,” ucapnya. ”Bukannya sulit sebenarnya membuat
karakter tokoh, tapi dibutuhkan lebih dari seratusan kreator untuk
membuatnya. Sebab, tokoh-tokoh itu kan bergerak dalam setiap serialnya,
jadi butuh ribuan gambar. Kalau background, rata-rata mirip semua. Dan
untuk satu seri paling hanya seratus gambar,” pungkas Oka.
Sumber: harianrakyatbengkulu.com