Thursday, January 16, 2014

Oka Sudarsana Satu Animator Indonesia Berjaya di Mancanegara.

Oka Sudarsana menunjukkan gambar background film animasi Doraemon
TIMELINE Studio milik Oka Sudarsana di Denpasar Barat, Bali, memang tidak begitu besar. Di studio yang berada di lantai 1 tempat tinggalnya itu, terlihat beberapa set peralatan komputer. Itulah peralatan yang selama ini dipakai untuk membuat animasi serial kartun, movie film, maupun games Doraemon, Shin-chan, One Piece, dan sederet serial film animasi lainnya.
Oka merintis profesi tersebut cukup lama. Bahkan sejak saat orang Indonesia belum melirik dunia animasi. “Cerita awalnya cukup panjang.  Sebab, semua tak bisa dipisahkan dari kedatangan beberapa grup animator dari Jepang ke Bali beberapa tahun silam,” kata Oka ketika ditemui Jawa Pos Radar Bali di studionya awal pekan lalu.
Pada 1990-an Oka masih berstatus sebagai karyawan sebuah hotel. Suatu hari dia tertarik mengikuti pelatihan animasi yang instrukturnya langsung dari Jepang. Mereka dipimpin seorang animator perempuan bernama Shibata. Grup animator itu sebenarnya sudah beberapa kali datang ke Bali untuk observasi. Mereka mencari bibit-bibit animator asli Bali setelah mengetahui bahwa di Pulau Dewata banyak pelukis hebat.
”Mereka yakin orang Bali bisa membuat animasi yang diinginkan. Makanya, mereka lalu membuat pelatihan dengan instruktur langsung dari Jepang,” terang pria 45 tahun itu. Di antara peserta pelatihan, Oka termasuk yang terbaik. Karyanya mendekati yang diinginkan pihak Jepang. Maka, semakin intensiflah Oka mengasah skill-nya. Bahkan, sejak itu Oka memilih keluar dari pekerjaannya di hotel dan merintis karir menjadi seorang animator, bidang yang masih langka di Indonesia saat itu.
Setelah yakin dengan pilihan hidupnya, Oka mulai membuat studio kecil-kecilan. Dia mengontrak dari satu rumah ke rumah kontrakan yang lain. Tapi, sejak itu dia mulai mendapatkan order pembuatan animasi untuk background film kartun. Awalnya bukan Doraemon atau Shin-chan, dua serial kartun asal Jepang yang booming di Indonesia. Melainkan serial animasi berjudul Jungle Book pada 1996. Film yang diproduksi Trans Art Jepang itu merupakan serial animasi yang mengisahkan petualangan anak hutan. “Seperti serial Tarzan. Cuma, ini diproduksi di Jepang,” ulasnya sambil tertawa mengingat-ingat cerita Jungle Book tersebut.
Order pertama itu diterima Oka lewat perantara perusahaan milik Shibata, bernama Mashajaya. Perusahaan tersebut sekaligus menjadi agennya kala itu. “Saat proyek yang pertama itu, saya masih didampingi instruktur dari Jepang. Tapi, kala itu belum seperti sekarang. Masih manual semua,” kenang bapak dua anak tersebut. Cara manual yang dimaksud berupa lukisan tangan sehingga membutuhkan waktu lama. Berbeda dengan era sekarang yang semua dibuat secara digital. “Respons mereka (pihak Jepang) terhadap karya kami sangat baik kala itu. Baru keluar, mereka langsung oke. Hampir tak ada ritik (perbaikan) yang diminta sutradara,” terang pemilik nama lengkap Agung Komang Oka Sudarsana tersebut.
Setelah order pertama sukses, pesanan pun mengalir ke Timeline Studio. Mereka antara lain mendapatkan order pembuatan background untuk serial animasi yang diproduksi Walt Disney hingga animasi-animasi asal Spanyol. Namun, kerja sama itu tidak berlangsung lama karena nilai kontraknya dinilai agen Timeline di Jepang sangat kecil.
”Padahal, bagi kami nilai kontrak itu sudah cukup besar. Tapi, mungkin karena kami sudah dianggap profesional oleh mentor Jepang, harga tersebut dianggap tak sebanding dengan karya kami,” ungkapnya. Maka, order yang lebih besar pun tinggal menunggu waktu. Benar, tak berselang lama, Oka pun mendapatkan order untuk terlibat dalam dua serial animasi top asal Jepang: Doraemon dan Crayon Shin-chan. Di Indonesia, dua film animasi tersebut sangat digemari anak-anak sejak puluhan tahun silam sampai sekarang.
Menurut Oka, dua film itu merupakan hasil kerja sebuah tim di bawah komando seorang sutradara dan produser. Mereka inilah yang membagi-bagi pekerjaan animasi di sejumlah studio dari beberapa negara berbeda. Selain studio Oka di Denpasar, dua film itu juga digarap studio animasi di Korea Selatan, Tiongkok, dan Vietnam. Jadi, ada studio yang khusus menggarap background (Timeline), ada studio yang menggarap musiknya, dan beberapa lainnya mengerjakan gerak tokoh-tokoh di serial tersebut. Kemudian, hasil kerja studio-studio dari beberapa negara itu diolah di studio pusat di Jepang hingga menjadi satu kesatuan film animasi yang utuh.
”Mungkin hasil kerja kami dinilai baik sehingga sejak 2000-an hingga sekarang kami tetap dipercaya untuk menggarap background gambar dua film kartun itu,” imbuhnya.  Background yang digambar Timeline Studio antara lain kamar tidur Doraemon, sekolah Nobita Nobi, hingga taman tempat bermain Doraemon dkk. Bagi Oka cs, membuat gambar background  film Doraemon dan Shin-chan memang lebih mudah dan simpel daripada harus membuat karakter Doraemon, Nobita Nobi, Shizuka Minamoto, hingga Suneo Honekawa. Sebab, pembuatan karakter-karakter di serial animasi membutuhkan SDM (sumber daya manusia) yang tidak sedikit.
”Mungkin karena sudah terbiasa sehingga rasanya lebih mudah membuat background  daripada karakter tokoh-tokoh film animasi itu,” ucapnya. ”Bukannya sulit sebenarnya membuat karakter tokoh, tapi dibutuhkan lebih dari seratusan kreator untuk membuatnya. Sebab, tokoh-tokoh itu kan bergerak dalam setiap serialnya, jadi butuh ribuan gambar. Kalau background, rata-rata mirip semua. Dan untuk satu seri paling hanya seratus gambar,” pungkas Oka.